Sentra PKL Malioboro: Proyek Berisiko di Lahan Sengketa

Pembangunan tempat relokasi pedagang kaki lima oleh Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta, di gedung eks Bioskop Indra di Jalan Malioboro, Kota Yogyakarta, menjadi proyek paling berisiko di DIY pada 2018 versi Indonesia Corruption Watch.

Proyek senilai total Rp62 miliar ini dibangun di lahan sengketa dan bagian paling besar dari proyek itu ditawarkan melalui tender cepat yang dinilai kurang tepat. Proyek ini juga dibayangi praktik monopoli dan diduga memboroskan keuangan negara.

Gedung tiga lantai dengan sisi depan berupa dinding kaca dan ornamen gerbang enam pilar itu berdiri menjulang. Namun, di depan bangunan megah itu, saat disambangi pada Jumat (27/9), pasir, semen, dan perkakas bangunan masih tersisa dan berantakan.

Tak ada aktivitas proyek kala itu. Suasana di area gedung di ujung selatan Jalan Malioboro ini kontras dengan area sekitarnya yang ramai karena jadi tempat parkir dan lapak pedagang, juga oleh lalu lalang wisatawan. Kawasan proyek itu dibatasi bedeng seng dengan sekitarnya, meski gedung megah tiga lantai itu terlihat dari jalan Malioboro.

Meski tanpa aktivitas berarti, dua orang tiba-tiba mendekati Gatra.com saat memasuki area proyek itu. “Mau apa ke sini? Tidak boleh foto-foto!” hardik salah satunya, pria usia 40-an, yang bilang bernama Kantong. “Harus izin pemda dulu. Ini masih sengketa,” kata pria beranting dan bertato yang menyebut dirinya sebagai ‘sekuriti’ lokasi itu.

--Denah rancangan tempat relokasi PKL di Malioboro yang dibangun oleh Pemda DIY. (GATRA/Arif Hernawan/ft)

Gedung tiga lantai dan satu semi-basement ini merupakan bangunan utama dari tempat relokasi pedagang kaki lima yang disiapkan di Malioboro. Dalam perencanaan proyek ini, lantai dasar gedung seluas 1.205 meter persegi akan digunakan untuk menampung penjual makanan kering.

Lantai 1 dan 2 selebar 1007 dan 992 meter persegi masing-masing untuk penjaja suvenir dan pakaian. Semi-basement 1.112 meter persegi punya kapasitas 37 gerobak dan 32 sepeda motor. Selain gedung utama ini, sejumlah bangunan lain dibangun di lokasi ini, seperti pusat kuliner dua lantai seluas 2.240 meter persegi, panggung pertunjukan, dan air mancur.

Saat itu, pembangunan gedung utama telah rampung, meski belum difungsikan, dan menyisakan pengerjaan lanskap. Sebanyak 396 pedagang terpilih di Malioboro rencananya bakal dipindah ke sini. Tempat relokasi PKL ini merupakan proyek Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta, lewat Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Energi Sumber Daya Mineral (PUP-ESDM).

Proyek ini terbagi tiga tahap bernilai Rp44 miliar, Rp14,5 miliar, dan Rp2,6 miliar sehingga totalnya sekitar Rp62 miliar. Jumlah itu belum termasuk ‘tali asih’ pada PKL, yang semula menempati area proyek sebelum dibangun gedung baru, senilai Rp18 miliar. Alhasil total anggaran yang digelontorkan Pemda DIY untuk proyek tempat relokasi PKL di eks biskop Indra ini tak kurang Rp80 miliar.

Sesuai aplikasi opentender.net yang digagas Indonesia Corruption Watch (ICW), tahap I proyek itu yang memiliki nilai proyek paling besar, yakni Rp44 miliar, memiliki skor potensi penyimpangan tertinggi di DIY pada 2018. Secara nasional, proyek ini adalah proyek konstruksi paling berisiko kelima di tahun itu.

Namun bukan hanya gedung, lokasi berdiri proyek juga menjadi polemik. Sentra relokasi PKL itu dibangun di lahan bekas Bioskop Indra yang menjadi objek sengketa hukum. Bioskop ini berdiri pada 1916 dengan nama Al Hambra, lalu menggunakan nama Indra sebagai akronim dari Indonesia Raya.

Kala itu, Indra pun menjadi tujuan mencari hiburan kaum elit saat itu dan bertahan hingga dekade 1970-an seiring masa keemasan layar perak Indonesia. Perusahaan bioskop ini, NV Javasche Bioscoop en Bouw Maatschaappij, milik warga keturunan Belanda, Emile Viktor Helant Muller, dan istrinya, Carolina Wilhelmina (binti Saridja), orang Indonesia.

Setelah kemerdekaan Indonesia, Bioskop Indra disebut tak terkena aturan nasionalisasi seperti banyak aset Belanda kala itu. Lahan di sekitar gedung bioskop seluas 7425 meter persegi yang mengantungi hak sebagai tanah bekas Recht Van Eigendom Verponding Nomor 504, surat ukur nomor 109 tanggal 13 Juni 1919, itu pun disebut menjadi milik pribadi.

--Riyanti, pihak keluarga dari penggugat status lahan eks bioskop Indra, lokasi tempat relokasi PKL Malioboro. (GATRA/Arif Hernawan/ft)

Atas dasar itulah, sejumlah pihak yang mengklaim sebagai ahli waris Bioskop Indra melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta.

Para penggugat adalah Sukrisno Wibowo, Sita Kristiana, Rama Dewantara, Bhayu Prawira, dan Ayunda Rachmi. Adapun tergugatnya Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional dan Kepala BPN Kota Yogyakarta.

Objek sengketa gugatan itu adalah keputusan pada 2014 soal penjualan rumah/tanah dan pemberian hak pengelolaan atas nama Pemda DIY atas tanah di Yogyakarta, serta sertifikat hak pengelolaan di lahan Indra seluas 5170 meter persegi atas nama pemegang hak Pemda DIY yang diterbitkan BPN Kota Yogyakarta pada 2014.

Di tengah sengketa itu, pada medio 2017, Pemda DIY mengukur lahan di eks bioskop Indra ini dan menyatakan rencana pembangunan gedung. Akhir Maret 2018, Pemda DIY merobohkan gedung Indra sebagai langkah awal proyek.

Namun pada Juli 2018, seluruh gugatan Sukrisno dkk dikabulkan. Pemda DIY kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di Surabaya. Hasilnya, PT TUN menguatkan putusan PTUN dan artinya Pemda DIY kalah lagi. Terakhir, Pemda DIY mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

Toh, pada medio April 2019, MA tak mengabulkan kasasi itu. Keputusan ini menguatkan keputusan sebelumnya yang membatalkan kepemilikan sertifikat Pemda DIY di lahan tersebut. Keputusan MA ini telah berkekuatan hukum tetap, meski hingga kini belum ditindaklanjuti.

Selama proses sengketa lahan ini, bangunan baru telah dikerjakan hingga berdiri di tanah tersebut. Saat hasil kasasi keluar dan memenangkan ahli waris, dua tahap proyek gedung telah rampung dan menyisakan pengerjaan lanskap yang berlangsung hingga kini.

Sukrisno, yang berada di Jakarta, tak merespons saat dimintai tanggapan soal kemenangan pihaknya atas Pemda DIY di MA hingga putusan itu berkekuatan hukum tetap atau inkracht. Kuasa hukum Sukrisno, Erick S Paat, juga enggan memberi pernyataan. “Kalau aku belum ada kuasa untuk memberi keterangan,” ujar dia via aplikasi pesan, Jumat (20/9) lalu.

Adik Sukrisno, Riyanti Suryatiningsih (61), menyatakan pihak keluarga akan menanti langkah hukum selanjutnya dari pihak tergugat yang telah kalah. “Kami menunggu saja. Kalau mau PK (peninjauan kembali), silakan PK. Sampai (batas) waktunya selesai, gimana hasilnya,” ujar dia saat ditemui.

Pihak keluarga mengisyaratkan pembelian lahan sengketa itu oleh Pemda DIY untuk menuntaskan sengketa. “Silakan kalau pemda mau beli. Kami maunya dari dulu begitu, tapi kami malah enggak dianggap. Pemda malah memberi tali asih ke orang yang cuma numpang di tanah itu,” kata Riyanti.

--Sekretaris Daerah Pemda DIY Gatot Saptadi. (GATRA/Arif hernawan /ft)

Sekretaris Daerah Pemda DIY Gatot Saptadi tak menampik kemungkinan membeli lahan eks Indra yang kini menjadi lokasi berdirinya gedung sentra PKL baru di Malioboro. Pemda DIY tengah menyiapkan PK atas putusan MA itu.

Sejak putusan MA yang membatalkan kepemilikan sertifikat lahan Pemda DIY, toh pembangunan tak terpengaruh. “Pembangunan jalan terus,” kata Gatot di kantornya, Senin (23/9), saat dijumpai Gatra.com, bersama Harian Jogja dan Kompas, yang berkolaborasi menelusuri proyek ini.

Menurut Gatot, gugatan tersebut mengenai proses terbitnya setifikat ke BPN. “Kami memegang sertifikatnya. Belum dibatalkan, berati masih sah. Perkara MA sudah memutuskan, BPN mau cabut atau enggak. Toh, kalau dicabut, status tanah tidak tahu punya siapa. Ya, punya negara,” tutur Gatot.

Penulis : Arief Koes
Editor : A. Hernawan
Sumber: Gatra.com, 20 Nov 2019