EKS BIOSKOP INDRA: Aroma Monopoli dalam Proyek Relokasi PKL

Dua dari tiga paket proyek pembangunan area relokasi pedagang kaki lima (PKL) di Eks bangunan Bioskop Indra, dikuasai orang yang sama. Ada aroma monopoli dalam proyek Sentra PKL Malioboro itu. Proyek itu menjadi salah satu temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam laporan hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemda DIY . Berikut laporan wartawan Harian Jogja Bhekti Suryani.

Arief Azazie Zain bersemangat menceritakan proyek lanskap yang kini sedang dibangun di lokasi eks gedung Bioskop Indra di Malioboro, Kota Jogja. Proyek senilai Rp3 miliar itu bakal melengkapi gedung tiga lantai yang bakal menampung lebih dari 400 pedagang kaki lima yang selama ini berjualan mengemper di sepanjang teras toko di tepian jalan Malioboro.

“Kami buat lanskap ini sebagus mungkin. Dibangun paving block, paving stone di area lanskap. Ada vegetasi, ada taman perindang. Vegetasinya pun dirawat sedemikian rupa menggunakan teknologi sensor kelembapan tanah. Pakai penyiram tanaman otomatis,” ungkap Kepala Bidang Cipta Karya Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Energi Sumber Daya Mineral (DPUP ESDM) DIY itu ditemui Agustus 2019 lalu.

-- Rancangan lanskap bagian depan sentra PKL Malioboro eks Bioskop Indra.

Arief mengklaim area relokasi PKL berkonsep ecobuilding yang dilengkapi dengan lanskap sebagai ruang publik hijau tersebut merupakan proyek pertama yang pernah dibangun Pemda DIY khusus untuk menampung PKL. Proyek itu dikerjakan sejak Juni 2019 oleh CV Setiabudi Jaya Perkasa.

Menurut catatan di Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Pemda DIY, persekutuan komanditer ini merupakan satu-satunya penyedia yang menawarkan harga dari 63 penyedia yang mendaftar lelang proyek tersebut.

“Tapi, saat survei untuk pelaksanaan ajang Pekan Olah Raga Provinsi (Porprov) Jawa Timur ke-4 tahun 2019 pada Juli lalu, panitia Porprov menyatakan jika (kolam renang) tidak sesuai standar perlombaan,” ujar Pramudi, yang ditemui pada 25 Juni 2019 di lokasi wisata.

CV Setiabudi Jaya Perkasa akhirnya memenangi lelang dengan nilai kontrak sebesar Rp2,6 miliar. Nama CV Setiabudi Jaya Perkasa bukan pemain baru dalam dunia lelang proyek pemerintah di DIY. Merujuk situs LPSE DIY, perusahaan pimpinan Supriyono sebagai Direktur dan Muhammad Lutfi Setiabudi sebagai sekutu komanditer itu telah berkali-kali memenangi lelang proyek pemerintah di DIY.

Nama Muhammad Lutfi Setiabudi cukup masyhur sebagai pengusaha muda di DIY yang kerap memenangi proyek lelang. Selain memenangi lelang proyek penataan lanskap di eks Bioskop Indra lewat CV Setiabudi Jaya Perkasa, Lutfi yang menjadi Ketua Asosiasi Kontraktor Nasional (Askonas) DIY ini ternyata juga memenangi proyek pembangunan eks Bioskop Indra Tahap II tahun anggaran 2018 senilai Rp15 miliar lewat PT Ardi Tekindo Perkasa. Di perseroan itu, Lutfi menjabat sebagai Wakil Direktur Utama.

Proyek lanskap yang dimenangi CV Setiabudi Jaya Perkasa, merupakan proyek Tahap III atau sesi pamungkas dalam pembangunan sentra PKL di lahan eks Bioskop Indra.

PT Ardi Tekindo Perkasa tercatat beralamat di Surabaya, Jawa Timur. Namun perusahaan ini sudah lama berkecimpung mengerjakan proyek di DIY. Merujuk aplikasi Opentender.net, PT Ardi Tekindo telah berkali-kali memenangi lelang proyek pemerintah di wilayah DIY. Sepanjang 2013-2018, PT Ardi Tekindo telah memenangi 12 paket proyek di DIY dengan nilai kontrak mencapai lebih dari Rp175 miliar.

Ketua Pokja lelang proyek eks Bioskop Indra tahap kedua, Sugeng Iswitana, mengklaim tak tahu menahu ihwal proyek eks Bioskop Indra yang dikuasai orang yang sama. “Secara prosedur, jika beda paket lelang tidak masalah meski pemiliknya orang yang sama walaupun bendera [nama perusahaan atau CV yang diikutsertakan saat lelang] beda,” kata Sugeng.

Kepala Kantor Wilayah IV Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Dendy R. Sutrisno, mengatakan afiliasi sejumlah perusahaan yang menguasai pemenangan proyek Bioskop Indra memang tidak menyalahi aturan mengenai persaingan usaha. Sebab proyek yang dikerjakan berbeda paket meski masih dalam rangkaian proyek pembangunan yang sama. KPPU akan menyatakan suatu tender melanggar aturan lelang apabila dalam satu paket diikuti sejumlah penawar yang dikuasai orang yang sama.

“Memang tidak selalu salah pemilik dua perusahaan mengikuti lelang beda paket. Tapi itu jadi pintu masuk untuk melihat ada tidaknya persekongkolan. Kalau ada indikasi mereka [yang berafiliasi] mengatur proyek agar bisa menang lelang, itu sudah masuk persekongkolan,” terang Dendy.

Namun, kata dia, bukan tidak mungkin terjadi persekongkolan atau persaingan usaha tidak sehat dalam proses lelang tersebut. Modus persekongkolan yang mungkin terjadi misalnya pengondisian para peserta lelang yang lain agar salah satu di antara mereka saja yang keluar sebagai pemenang. Baik merekayasa harga yang ditawarkan, maupun kualifikasi teknis yang dimiliki. Modus seperti ini dikenal dengan persekongkolan horizontal. Modus lainnya yakni “main mata” antara panitia lelang dan penyedia, dengan membuat syarat-syarat lelang yang hanya mungkin dipenuhi oleh penyedia tertentu sehingga bisa lolos jadi pemenang. Modus ini disebut persekongkolan vertikal.

Dokumen pengadaan dan evaluasi lelang yang berisi Harga Perkiraan Sementara (HPS) hingga kontrak dengan penyedia, bisa menjadi kunci untuk membuktikan ada tidaknya persekongkolan vertikal maupun horizontal.

Kendati demikian, kata dia, panitia lelang atau instansi terkait semestinya bisa mendeteksi lebih jauh ihwal penguasaan proyek seperti ini. Jangan sampai pemenang-pemenang proyek itu diam-diam seperti menjalankan arisan (sengaja bergilir memenangkan proyek). Penguasaan proyek seperti ini bisa dicegah apabila muncul kompetitor-kompetitor atau kontraktor baru sehingga proses tender menjadi lebih fair.

--Arief Azazie Zain (kiri) dan Dendy R. Sutrisno (Harian Jogja/Bhekti Suryani)

Kasus persekongkolan dalam lelang proyek pemerintah sebelumnya pernah terjadi di DIY. Pada pengujung 2018 lalu, KPPU memvonis adanya patgulipat dalam lelang proyek di DIY, yakni pembangunan Stadion Mandala Krida. KPPU menyatakan telah terjadi persekongkolan baik horizontal maupun vertikal dalam proyek bernilai total Rp85,8 miliar itu.

Melalui putusan No.10/KPPU-I/2017, KPPU menyatakan enam perusahaan bersalah karena terbukti berkongsi memenangi lelang dan dijatuhi denda total RP7,8 miliar dengan jumlah denda bervariasi. Dua perusahaan juga diganjar hukuman larangan mengikuti tender pengadaan jasa pembangunan sarana dan prasarana olah raga yang bersumber dari APNB selama dua tahun dan tiga perusahaan dihukum satu tahun tak boleh ikut tender dalam jasa serupa.

KPPU juga menemukan terjadinya persekongkolan vertikal yang dilakukan tiga pejabat Pemda DIY termasuk Kepala Balai Pemuda dan Olahraga (BPO) yang menjadi pejabat pembuat komitmen. Kepala BPO DIY dinyatakan terbukti mengarahkan pemenang lelang. Atas temuan itu, KPPU merekomendasikan Pemda DIY agar memberikan sanksi administratif kepada ketiga pejabat. Perkara itu masih bergulir di meja hijau karena diajukan banding dan kasasi.

Dihubungi tim kolaborasi, Wakil Direktur Utama PT Ardi Tekindo Perkasa, Muhammad Lutfi Setiabudi, membantah memonopoli atau menguasai proyek di lahan eks Bioskop Indra melalui dua badan usaha.

Terkait dengan CV Setiabudi Jaya Perkasa, Lutfi mengaku sudah tidak lagi menjadi pengurus di perusahaan tersebut. Lutfi mengakui, dulu ia memang pernah masuk sebagai pengurus di CV Setiabudi Jaya Perkasa untuk membantu temannya yang memiliki perusahaan itu. Namun, Lutfi mengaku sudah keluar dari persekutuan komanditer itu.

Keputusan keluar itu pun sudah disahkan dalam rapat umum pemegang saham (RUPS) perusahaan itu. "Jadi saya sudah tidak di perusahaan itu," katanya saat dikonfirmasi tim kolaborasi, September lalu.

Kendati demikian, data di Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJK) yang memuat identitas CV Setiabudi Jaya Perkasa, nama Muhammad Lutfi Setiabudi masih tercantum sebagai komanditer di korporasi tersebut.

--Data di Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJK) yang memuat identitas CV Setiabudi Jaya Perkasa

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lais Abid, menilai selama ini praktik-praktik penguasaan proyek pemerintah oleh segelintir orang atau penyedia barang/jasa, kerap terjadi di Indonesia. “Kalau seperti ini namanya monopoli. Menghilangkan kesempatan pelaku usaha lain memenangi tender. Walaupun tidak bisa dijerat hukum, ini praktik yang tidak baik,” tegas Lais Abid.

Dalam kasus pembangunan di eks Bioskop Indra, kata Lais, penyedia dalam hal ini Muhammad Lutfi Setiabudi, patut diduga bermain di dua kaki agar bisa menggarap banyak proyek. Di kaki satu ia bermain melalui PT Ardi Tekindo Perkasa sebagai perusahaan kategori besar yang menggarap proyek Tahap II, di kaki lain ia juga bermain di skala usaha kecil melalui CV Setiabudi Jaya Perkasa yang mengerjakan proyek Tahap III. Sejatinya, kata dia, hal semacam ini diperhatikan oleh pemerintah. Praktik semacam ini seharusnya dilarang.

Rapor Merah

PT Ardi Tekindo melenggang mulus memenangi lelang proyek pembangunan eks Bioskop Indra Tahap II senilai Rp15 miliar pada 2018 lalu. Perusahaan ini menyingkirkan dua kompetitor yakni PT Inneco Wira Sakti Hutama dan PT Total Tanjung Indah yang sama-sama menawarkan harga ke panitia lelang. Dua kompetitor itu terdepak karena dianggap tak mampu memenuhi syarat administratif serta gagal di pembuktian kendati keduanya menawarkan harga lebih rendah dari PT Ardi Tekindo Perkasa.

Lolos dan dinyatakan kompeten oleh panitia lelang menggarap eks Bioskop Indra, pada realisasinya proyek garapan PT Ardi Tekindo tak berjalan sempurna. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan Pemda DIY Tahun 2018 menyebutkan bahwa proyek pembangunan eks Bioskop Indra tahap II tidak sepenuhnya dikerjakan sesuai kontrak.

Hasil review dokumen pengadaan dan pemeriksaan fisik menunjukkan adanya kekurangan volume pekerjaan senilai Rp417 juta lebih. Kekurangan volume pekerjaan yang ditemukan antara lain pasangan rooster, pasangan railing, In Line Duct Fan dan Ducting BJLS.

Hingga berita ini diturunkan, auditor BPK yang memeriksa proyek di lahan eks Bioskop Indra tak bisa ditemui untuk dimintai keterangan. Kepala Subbagian Humas dan Tata Usaha BPK Perwakilan DIY, Teguh Srihasto, menyampaikan auditor tersebut sedang menjalankan tugas audit di luar kota. Teguh juga tak merespons keinginan media ini mewawancarai auditor tersebut melalui telepon.

Wakil Direktur Utama PT Ardi Tekindo Perkasa, Muhammad Lutfi Setiabudi, mengatakan perusahaan yang ia pimpin telah mengembalikan uang yang disebut dalam laporan BPK tersebut. "Kami sudah mengembalikan uang itu," ujarnya.

Penulis : Bhekti Suryani
Sumber: Harianjogja.com, 21 November 2019
*Laporan ini merupakan hasil kolaborasi Harian Jogja dengan dua media lainnya, Kompas dan Gatra. Reportase dilakukan pada rentang Juli-Oktober 2019.