EKS BIOSKOP INDRA: Rawan Rasuah di Lahan Sengketa

Gedung area relokasi untuk ratusan pedagang kaki lima (PKL) Malioboro, Jogja, di bekas bangunan bersejarah Bioskop Indra, telah selesai dibangun. Pembangunan gedung hingga lanskap sentra PKL itu menelan anggaran dana keistimewaan (Danais) lebih dari Rp60 miliar. Proyek itu dinilai rawan korupsi karena didirikan di lahan sengketa. Berikut laporan yang dihimpun wartawan Harian Jogja Bhekti Suryani.

Dua lelaki memasang mimik tidak bersahabat saat Harian Jogja dan dua wartawan media lainnya melangkah ke pintu masuk menuju area proyek pembangunan gedung relokasi PKL eks Bioskop Indra di salah satu sudut Malioboro, Jogja.

-- Alat berat merobohkan bekas gedung bioskop Indra di Jalan Malioboro, Jogja, Rabu (28/3/2018). - Harian Jogja/Gigih M. Hanafi

“Mau apa ke sini.Kalau enggak ada surat dari Pemda DIY, enggak boleh [meliput dan mengambil gambar],” ujar seorang lelaki berkulit gelap bernada suara tinggi sambil mengibas tangan seperti gerakan menggusah. Dia menghardik kami agar menjauh dari lokasi proyek, pengujung September lalu.

Sepintas tidak ada aktivitas pembangunan yang berarti di area proyek itu. Hanya ada dua tiga orang yang terlihat di lokasi proyek yang dipagari seng . Sejumlah lelaki menjaga ketat tempat tersebut sembari membuka jasa parkir di depan pintu masuk tepat di pinggir jalan Malioboro.

Sudah sejak 2018 proyek tempat relokasi PKL itu dikerjakan. Merujuk data Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Pemda DIY, proyek tersebut menelan dana hingga Rp62 miliar. Proyek terdiri dari tiga paket pengerjaan. Tahun ini, pekerjaan yang digarap yakni pembangunan lanskap senilai Rp3 miliar sebagai pekerjaan pamungkas pembangunan gedung.

Kendati uang negara telah dikucurkan dan bangunan telah berdiri penuh pada pengujung tahun ini, area relokasi PKL itu masih menyisakan persoalan serius. Pada April lalu, Mahkamah Agung (MA) memvonis kasasi atas sengketa tanah seluas 5.170 meter persegi di eks gedung Bioskop Indra. Isinya, membatalkan sertifikat kepemilikan tanah lahan eks Bioskop Indra yang dikuasai Pemda DIY sejak 2014.

Jauh sebelum megaproyek pembangunan gedung relokasi PKL dimulai pada 2018, sengketa lahan eks Bioskop Indra itu sudah bergulir di meja hijau. Kendati demikian, Pemda tetap meneruskan proses pembangunan gedung di atas lahan sengketa tersebut. “Karena kami merasa memiliki tanah itu, karena kami pegang sertifikatnya,” ungkap Sekda DIY kala itu, Gatot Saptadi saat ditemui September lalu. Gatot telah pensiun mulai Oktober tahun ini dan digantikan pejabat baru.

Kalah Tiga Kali

Klaim Pemda DIY bahwa lahan itu adalah tanah negara didasarkan pada Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) No. 39/HPL/BPN RI/2014 tertanggal 24 Oktober 2014. Isinya menyatakan hak pengelolaan tanah negara di lahan eks Bioskop Indra itu ada pada Pemda DIY. Keputusan Kepala BPN itu disusul penerbitan sertifikat pengelolaan lahan eks Bioskop Indra dari Kantor Pertanahan Kota Jogja pada 17 Desember 2014.

Selama proses pengurusan lahan hingga terbit sertifikat dari BPN tersebut, seorang warga bernama Sukrisno Wibowo bersama saudara-saudaranya, mengklaim lahan eks Bioskop Indra itu milik perusahaan keluarga bernama NV Javasche Bioscoop en Bouw Maatschappij (JBBM). Menurutnya NV JBBM telah membeli lahan eks Bioskop Indra pada 1919 dan tidak pernah melepaskan hak atas lahan itu kepada kantor pertanahan.

Pada Januari 2018, Sukrisno dan empat anggota keluarganya mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta untuk membatalkan seluruh beleid yang dikeluarkan oleh BPN. Alih-alih menghentikan proyek karena lahan masih disengketakan, Pemda DIY justru meneruskan rencana proyek dengan membongkar bangunan lama di atas lahan eks Bioskop Indra. Saat itu, Sukrisno Wibowo dan keluarganya memprotes namun Pemda DIY tak menghiraukan. Problem muncul karena PTUN Yogyakarta ternyata mengabulkan gugatan Sukrisno Wibowo dan keluarga. Dalam putusan 5 Juli 2018, majelis hakim PTUN Yogyakarta membatalkan dua beleid yang dikeluarkan BPN.

Pemda DIY mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN). Pada 8 November 2018, Majelis Hakim PTTUN Surabaya mengeluarkan vonis yang justru menguatkan putusan PTUN Yogyakarta. Kasus berlanjut ke kasasi. Pada 25 April 2019, MA menolak kasasi Pemda DIY dan menguatkan dua putusan pengadilan sebelumnya melalui Putusan MA No. 147 K/TUN/2019.

Mengenai kekalahan tiga kali di meja hijau ini, Gatot mengaku tak khawatir. Menurutnya putusan MA tersebut hanya membatalkan kepemilikan sertifikat lantaran proses penerbitan sertifikat oleh Kantor Pertanahan Jogja dianggap tidak benar oleh pengadilan.

Bersedia Membeli

Putusan itu menurutnya tidak menjatuhkan kepemilikan tanah tersebut kepada Sukrisno Wibowo cs yang mengklaim sebagai ahli waris. “Itu kan putusannya karena proses sertifikasinya tidak benar. Ya sudah kalau mau dicabut sertifikatnya [milik Pemda], dicabut saja. Nanti mulai pengajuan baru lagi, buat pembuatan sertifikat yang baru. Kalau misalnya kami kalah dan tanah jatuh ke ahli waris [kemungkinan terburuk] ya sudah, tak tukune [Pemda beli] tanahnya,” kata dia.

Kantor Pertanahan Kota Jogja dan Pemda DIY kini sedang menyiapkan upaya hukum luar biasa melalui peninjauan kembali (PK) terhadap vonis lembaga benteng terakhir peradilan di Indonesia itu. Gatot mengungkapkan Pemda bakal menghadirkan bukti baru untuk memuluskan upaya hukum.

Dia juga menceritakan latar belakang munculnya proyek relokasi PKL di bangunan eks Bioskop Indra. Lokasi tersebut semula memang diproyeksikansebagai kantong parkir di area Malioboro.

“Kami pikir, kalau kantong parkir tidak cocok, karena [letaknya] ada di ujung Malioboro. Di sisi lain beban Malioboro [menampung PKL] harus dikurangi jika ingin wilayah ini menjadi kawasan pedestrian. Muncullah ide, memanfaatkan lahan yang ada untuk mengurangi beban Malioboro,” tutur Gatot.

Ia membantah ada motif lain dalam pembangunan gedung di lokasi eks Bioskop Indra, sehingga dipilih lelang cepat pada proyek Tahap I. “Soal lelang cepat yang memilih metode lelang dari dinas masing-masing. Aturan membolehkan. Saya tidak pernah ikut campur apalagi sampai ke siapa pemenang lelang,” tegas dia.

Gatot mengamini ihwal proyek gedung relokasi yang masuk kategori berisiko tinggi dan rawan penyalahgunaan versi aplikasi Opentender.net. Ini karena nilainya yang besar namun partisipasi peserta lelang sangat minim. “Benar kalau berisiko. Memang iya. Makanya kami minta ke depan jangan lagi pakai lelang cepat,” papar dia.

Ihwal sengketa tanah, media ini mencoba mendatangi kediaman Sukrisno Wibowo di salah satu ruko di Malioboro, namun hanya berhasil ketemu dengan adik Sukrisno, Riyanti Suryatiningsih.

Saat ditanya seputar putusan MA terkait dengan lahan eks Bioskop Indra, Riyanti tak mau banyak berkomentar. “Kami masih menunggu karena Pemda katanya mau ajukan PK. Setelah itu baru kami akan menyampaikan sikap,” ungkap perempuan 61 tahun itu.

Ia yakin, Pemda tak bisa memiliki tanah yang berlokasi di jantung Kota Jogja itu. Sebab ia dan keluarganya sebagai ahli waris sah, memegang hak eigendom atas tanah tersebut yang sudah diterbitkan sejak zaman Belanda.

“Eigendom-nya kami pegang. Tanah itu kan aslinya seluas 7.000 meter persegi, lalu dipecah Pemda kok tiba-tiba muncul sertifikat luasnya jadi 5.000 meter persegi. Kalau misal kami menang, silakan kalau Pemda DIY mau beli. Kami kan maunya dari dulu begitu. Kami ahli waris malah enggak dianggap. Pemda memberi tali asih kepada orang yang selama ini cuma numpang di tanah itu,” ungkap Riyanti.

Unsur Rasuah

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM, Zainurrohman, menilai proyek relokasi PKL di lahan eks Bioskop Indra rawan terjerembab ke dalam kasus rasuah bila melihat kondisinya saat ini. Menurutnya ada tiga hal yang bisa mendorong proyek ini ke ranah pidana. Pertama, ada unsur tindakan melawan hukum misalnya dalam proses lelang pembangunan area relokasi. Unsur kedua, proyek itu merugikan negara dan menguntungkan orang lain atau korporasi.

“Unsur merugikan negaranya sangat mungkin terpenuhi kalau sampai Pemda kalah di pengadilan dan [kepemilikan] tanah jatuh ke ahli waris. Karena di atas tanah itu sudah terlanjur ada bangunan dan nilainya cukup besar. Kalau tanah itu tidak jatuh ke tangan Pemda, jelas yang untung kontraktor yang membangun gedung itu. Juga warga yang telah menerima tali asih saat Pemda DIY membebaskan tanah. Unsur memperkaya orang lain akan terpenuhi,” jelas Zainurrohman.

Menurutnya tinggal satu unsur yakni tindakan melawan hukum yang harus dibuktikan. Apakah proses pengadaan tanah maupun lelang pembangunan gedung tersebut dilakukan dengan cara-cara melawan hukum atau tidak. “Kalau ada bukti unsur melawan hukum, jelas itu masuk pidana korupsi,” papar dia. (SELESAI)

Penulis : Bhekti Suryani
Sumber: Harianjogja.com, 23 November 2019
*Laporan ini merupakan hasil kolaborasi Harian Jogja dengan dua media lainnya, Kompas dan Gatra. Reportase dilakukan pada rentang Juli-Oktober 2019.