Proyek Sentra PKL Malioboro: Bikin Negara Rugi Dua Kali

Pembangunan tempat relokasi pedagang kaki lima oleh Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta, di gedung eks Bioskop Indra di kawasan Malioboro, Kota Yogyakarta, menjadi proyek paling berisiko di DIY 2018 versi Indonesia Corruption Watch.

Proyek senilai Rp62 miliar ini dibangun di lahan sengketa, terindikasi dimonopoli, dan tendernya tak tepat. Badan Pemeriksa Keuangan menemukan kekurangan volume pekerjaan. Pusat Kajian Antikorupsi UGM menyatakan proyek itu memboroskan duit negara.

Proyek di ujung Jalan Malioboro itu terbagi tiga tahap, yakni dengan nilai Rp44 miliar, Rp14,5 miliar, dan Rp2,6 miliar hingga totalnya sekitar Rp62 miliar. Jumlah ini belum termasuk dana ‘tali asih’ pada 2013 ke sejumlah PKL yang semula menempati area proyek senilai Rp18 miliar.

Alhasil, total anggaran yang digelontorkan Pemda DIY untuk proyek tempat relokasi PKL di eks biskop Indra ini tak kurang Rp80 miliar.

Dengan nilai proyek sebesar itu, berada di lahan sengketa, pengadaan lewat tender cepat yang dipertanyakan, dan pemenang proyeknya diduga terafiliasi, sentra PKL baru di eks Bioskop Indra dinilai dapat merugikan negara dan berpotensi memenuhi unsur pidana jika ditemukan tindakan melanggar hukum.

BPK dalam laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan Pemda DIY 2017 tertanggal 25 Mei 2018 juga menyebut lahan eks Indra sebagai “aset tetap tanah dalam proses penyelesaian sengketa”. Selain itu, hasil pemeriksaan pada 2018 atas pembangunan tempat relokasi PKL juga menyatakan BPK menemukan kekurangan volume pekerjaan pada proyek tahap I dan II.

Dalam salinan laporan hasil pemeriksaan 2018 yang diperoleh Gatra.com, kekurangan volume itu senilai Rp444 juta. Jumlah itu terdiri dari Rp27 juta di proyek tahap I dan Rp417 juta di tahap II.

Kekurangan Rp27 juta tersebut untuk pengerjaan bored pile atau fondasi tabung di proyek tahap I yang dimenangi PT Matra Karya lewat tender cepat.

-- Desain tempat relokasi PKL di Malioboro. (GATRA/Arif Hernawan/tss)

Namun pihak PT Matra Karya menyatakan tak ada masalah pada proyek sentra PKL anyar di Malioboro yang mereka kerjakan itu. Staf Project Officer PT Matra Karya, Lisa Heratami, berkata proyek itu kelar dengan lancar. “Sudah clear,” kata dia saat ditemui di kantor baru PT Matra Karya di Jalan Ateka, Sewon, Bantul, Kamis (26/9).

Keberadaan kantor ini berbeda dengan alamat perusahaan yang tercantum di profil mereka di Layanan Pengadaan Secara Elektronik dan Kementerian Hukum dan HAM. Di ruang tamu kantor barunya, terpasang empat foto gedung-gedung yang digarap perusahaan ini.

Lisa tak menampik bahwa BPK memeriksa proyek itu dan menemukan kekurangan volume pada pekerjaan mereka. Namun, kata dia, temuan semacam itu lumrah. “Sebenarnya penyusutan beton itu wajar kalau di konstruksi. Mungkin itu yang dimaksud kurang volume. Tapi itu tidak mengurangi kualitas bangunan,“ ujar Lisa.

Apalagi, kata dia, nilai kekurangan pekerjaan itu telah dikembalikan. Lisa juga menyatakan tidak tahu proses PT Matra Karya mengikuti dan memenangi lelang cepat tahap I proyek tempat relokasi PKL eks Bioskop Indra.

“(Tender) Itu di pemda. Kami (proyeknya) kualifikasi menengah. Sudah diserahterimakan juga dan tak ada masalah,” kata dia kepada Gatra.com, Kompas, dan Harian Jogja, yang berkolaborasi menelusuri proyek ini.

Adapun kekurangan volume di proyek tahap II untuk sejumlah pengerjaan PT Ardi Tekindo Perkasase dengan nilai lebih besar, hingga mencapai Rp417 juta.

Wakil Direktur Utama PT Ardi Tekindo Perkasa, perusahaan yang menggarap proyek sentra PKL tahap II, Muhammad Lutfi Setiabudi, mengatakan, pihaknya telah mengembalikan uang terkait temuan BPK. "Kami sudah mengembalikan uang itu," ujarnya.

Lutfi juga tercatat sebagai komanditer di CV Setiabudi Jaya Perkasa yang memenangi proyek tahap III, sehingga proyek ini diduga dimonopoli segelintir pihak.

Mengenai posisinya itu, Lutfi menyatakan dirinya tak lagi menjadi pengurus CV tersebut. Ia mengakui, ia pernah masuk sebagai pengurus di CV itu untuk membantu temannya yang memiliki perusahaan tersebut.

Namun, Lutfi mengulangi bahwa ia sudah keluar dari CV Setiabudi Jaya Perkasa. Meski bentuk usahanya CV, Lutfi berkata, keputusan dirinya keluar dari CV itu sudah disahkan dalam rapat umum pemegang saham (RUPS). "Jadi saya sudah tidak di perusahaan itu," katanya.

Sekretaris Daerah Pemda DIY saat itu, Gatot Saptadi, mengakui bahwa nilai kekurangan volume di dua tahap proyek itu, yakni Rp27 juta dan Rp417 juta, tergolong besar. Menurut dia, kontraktor proyek sudah mengembalikan kekurangan tersebut.

Meski pekerjaannya kurang, Pemda DIY tak memasukkan dua perusahaan itu ke daftar hitam karena tak ada perintah dari BPK. “Tapi kami tidak sampai mem-blacklist (penyedia proyek). Kami hanya mengikuti BPK,” ujar Gatot saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (23/9).

Menurut dia, pemeriksaan BPK di sentra PKL Malioboro hanya menelisik kekurangan kerja. Pemeriksaan tidak sampai melihat kualitas komponen bangunan, termasuk yang digarap oleh pemenang tender cepat. “Saya sendiri belum pernah masuk ke sana,” ujar dia yan pensiun sejak Selasa (1/10).

Gatot berkata, sengketa hukum tidak berpengaruh pada cepat-tidaknya tender dan pengerjaan proyek itu. Atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan sertifikat lahan, Pemda DIY tengah menyiapkan peninjauan kembali (PK), bahkan membuka peluang membeli tanah itu ke pihak pengklaim ahli waris.

Menurutnya, pengerjaan proyek tahap I lewat lelang cepat semata-mata karena aturan membolehkan. Apalagi kebutuhan penyediaan tempat PKL untuk mengurangi beban Malioboro, kata dia, mendesak. “Kami bermain dengan waktu,” ujarnya. Namun, Gatot mengakui pengerjaan proyek melalui tender cepat punya potensi penyimpangan mengingat nilai proyek amat besar, sedangkan lelangnya minim kompetisi. “Risikonya tinggi,” ujar dia.

Untuk itu, saat ini Pemda DIY tak lagi menggunakan mekanisme lelang cepat di proyek konstruksi. Menurut Gatot, selain sentra PKL ini, ada satu proyek di DIY yang melalui lelang cepat, yakni proyek terkait revitalisasi Jalan Malioboro. “Toh, lelang biasa juga tidak lama, 1,5 bulan, dan lebih kompetitif,” kata dia.

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Zaenur Rohman menjelaskan, pengadaan barang dan jasa dapat dikategorikan memenuhi unsur pidana jika melawan hukum, merugikan keuangan negara, dan menguntungkan diri sendiri atau pihak lain. “Kalau ada pasal di (dokumen) pengadaan yang dilanggar, akan terpenuhi unsur melawan hukum,” kata Zen, sapaan akrabnya.

Zen melihat, proyek senilai Rp62 miliar ini mengalami inefisiensi atau pemborosan yang memiliki risiko dalam hukum keperdataan atau administrasi. Selain menguntungkan pihak lain yakni kontraktor, proyek ini berpotensi merugikan negara jika putusan MA, yang membatalkan sertifikat lahan proyek milik Pemda DIY, dieksekusi.

Jika untuk menuntaskan sengketa hukum itu lahan proyek harus dibeli, Pemda DIY juga harus mengucurkan dana lagi di luar proyek Rp62 miliar. Apalagi pada 2013 Pemda DIY telah menganggarkan dana ‘tali asih’ Rp18 miliar.

Dana ‘pembebasan lahan’ eks Bioskop Indra ini dinilai salah sasaran karena diberikan ke sejumlah PKL yang menempati atau menyewa lahan itu, bukan ke pihak ahli waris. Enam pihak--dua orang di antaranya disebut telah meninggal--menerima dana itu, berkisar Rp474 juta hingga Rp4,9 miliar dengan total sekitar Rp13 miliar.

Dengan banyaknya alokasi dana, Pemda DIY bisa rugi dua kali di proyek sentra PKL baru di bekas Bioskop Indra, Malioboro, ini. “Ini kerugian negara bertingkat, di proyeknya dan pembebasan lahannya,” ujar Zen saat ditemui di kantor Pukat UGM, Rabu (2/10). (Selesai)

Penulis : Arief Koes
Editor : A. Hernawan
Sumber: Gatra.com, 23 Nov 2019